Alkisah, Andi adalah seorang chef restoran ternama yang berpengalaman. Masakannya sudah terkenal enak. Bosan jadi karyawan, ia ingin mendirikan restoran sendiri. Setelah ia hitung modal mendirikan dan operasional restoran di tahun pertama perlu Rp 100 juta. Ia tidak punya uang dan tidak mau berutang ke bank.
Maka Andi datang ke Bobi, teman lamanya yang gemar kuliner dan punya banyak uang. Andi mengajak Bobi bermitra mendirikan usaha restoran. Andi jujur ia tak punya uang. Kontribusi yang bisa ia berikan adalah sebagai chef yang membuat produk (yakni makanan) dan mengelola operasional bisnis restoran. Tanpa uang tak mungkin restoran bisa didirikan.
Sementara Bobi tidak bisa masak, tapi punya uang. Tanpa chef yang bisa membuat masakan tak mungkin restoran bisa didirikan.
Sampai di sini keduanya sama-sama memahami bahwa baik Andi maupun Bobi punya sumberdaya vital yang unik yang dibutuhkan untuk mendirikan usaha: uang dan kompetensi. Karena tanpa salah satunya tidak mungkin usaha restoran bisa berdiri.
Maka mereka bersepakat untuk bermitra mendirikan restoran dan membentuk badan usaha bernama PT Kuliner. Andi bertanggungjawab sebagai chef dan memimpin operasional restoran. Bobi memodali uang Rp 100 juta untuk menyewa ruko, membeli peralatan masak, biaya operasional dll. Biasa disebut sebagai belanja modal (capital expense, Capex) dan working capital (modal kerja).
Sampailah mereka ke tahap mendiskusikan berapa besar saham yang akan dimiliki oleh masing-masing orang. Setelah negoisasi alot, akhirnya mereka sepakat bahwa uang dan kompetensi seimbang. Maka mereka memutuskan Andi dapat 50% saham, Bobi juga 50% saham. Dalam akta pendirian perusahaan mereka menyebut perusahaan mereka menerbitkan 100 lembar saham dimana Andi dapat 50 lembar saham, Bobi 50 lembar saham.
Saham sebagai sebuah kekayaan harus ada nominalnya dan dicantumkan di dalam akta pendirian perusahaan. Nilai keseluruhan saham — yang 100 lembar itu — bukan berdasarkan modal Rp 100 juta tadi. Tapi berdasarkan nilai usaha. Sedangkan nilai usaha bukanlah modal Rp 100 juta di awal.
Nilai usaha adalah nilai serangkaian arus kas masuk (cash flow) atau pendapatan prospektif yang akan dihasilkan perusahaan di masa depan. Umumnya 5 tahun. Paling singkat 3 tahun.
Maka mereka membuat rencana usaha sampai 5 tahun ke depan yang mencantumkan cash flow dan laba dari tahun ke-1 sampai tahun ke-5. Dengan menggunakan perhitungan Ilmu Prinsip Perseroan, Andi dan Bobi mendapatkan hasil bahwa nilai usaha mereka saat ini adalah Rp 1 miliar.
Jadi, PT Kuliner saat didirikan bernilai (valuasi) Rp 1 miliar. Dengan 100 lembar saham, maka per lembarnya bernilai Rp 10 juta. Dengan begitu kekayaan Andi (dalam bentuk saham) adalah Rp 500 juta, Bobi juga Rp 500 juta.
Mereka menyatakan komitmennya untuk sama-sama memajukan usaha ini dengan visi yang sama. Komitmen itu mereka nyatakan dengan tidak akan menjual atau mengalihkan saham mereka (yang merefleksikan kepemilikan) kepada pihak lain dalam masa 3 tahun. Karena kalau saham dijual kepada orang lain maka bisa saja pemilik saham baru akan mengubah arah perusahaan. Komitmen ini disebut sebagai vesting period atau periode dimana para pemegang saham tidak boleh mengalihkan kepemilikan sahamnya kepada orang lain, baik dijual maupun diberi cuma-cuma. Hal ini mereka cantumkan dalam akta pendirian perusahaan. Setelah itu Andi dan Bobi memulai usaha mereka.
MASUKNYA CO-FOUNDER BARU
6 bulan berjalan restoran ramai. Tapi ternyata Andi kerepotan mengurus restoran pada aspek operasional dan bisnis. Karena di dapur saja sudah repot. Sementara mengurus restoran tak hanya mengurus dapur. Harus menangani kasir, pelayan, kebersihan, logistik, marketing dll. Andi mengaku kepada Bobi dia tak sanggup lagi mengurus operasional sebagai manajer restoran. Hanya sanggup jadi manajer dapur saja.
Idealnya, Bobi yang akan turun tangan menjadi manajer operasional. Tapi karena Bobi punya pekerjaa tetap sebagai karyawan di perusahaan lain yang tak bisa ditinggalkan, maka Bobi pun tak sanggup.
Maka mereka bersepakat mencari orang baru yang sanggup dan berpengalaman sebagai manajer operasional restoran. Kebetulan Andi punya teman dengan spesifikasi itu bernama Cecep. Maka diajaklah Cecep bergabung. Cecep setuju, tapi minta gaji tinggi. Andi dan Bobi tidak sanggup menggaji setinggi itu. Kemudian mereka menawarkan bagaimana kalau gaji sekian sekaligus menjadi co-founder dengan saham 10%. Cecep setuju.
BERTAMBAHNYA JUMLAH SAHAM
Bila Cecep jadi pemegang saham baru senilai 10%, tentu komposisi 50%-50% antara Andi dan Bobi akan berubah. Tapi tidak sesederhana menjadi 45% Andi, 45% Bobi, dan 10% Cecep. Karena ada komitmen vesting period dimana Andi dan Bobi dilarang mentransfer saham mereka kepada pihak lain. Kalau Andi dan Bobi menyerahkan saham mereka masing-masing 5% agar Cecep mendapat 10%, itu sama saja mentransfer saham atau buy out. Tidak boleh.
Maka, harus diterbitkan saham baru khusus untuk Cecep yang akan ditambahkan ke saham yang sudah diterbitkan sebelumnya.
Karena disepakati Cecep mendapatkan 10% saham, maka 10% dari 100 lembar saham eksisting adalah 10 lembar. Maka tambahkan 10 lembar itu ke 100 lembar eksisting. Total jumlah saham menjadi 110 lembar. Dengan demikian Andi punya 50 lembar, Bobi 50 lembar, Cecep 10 lembar.
Komposisi prosentase saham tentu saja berubah, karena pembaginya bukan 100 lagi, tapi 110 lembar. Artinya, prosentase kepemilikan Andi menjadi 45,5% (50/110), Bobi 45,5% (50/110), Cecep 9% (9/110).
Dari situ bisa dilihat bahwa Cecep tetap mendapat 10 lembar saham yang merupakan 10% dari 100 lembar saham lama. Tapi ketika lembar saham baru diterbitkan, prosentase kepemilikannya adalah 9% dalam komposisi yang baru. Sementara saham Andi dan Bobi sama-sama menyusut atau terdilusi karena masuknya Cecep sebagai pemegang saham baru.
Dengan diterbitkannya lembar saham baru tanpa ada penyertaan modal baru atau target usaha baru, maka valuasi usaha tidak bergerak dari Rp 1 miliar. Namun nilai per lembar saham turun karena Rp 1 miliar harus dibagi menjadi 110 lembar. Dengan masuknya Cecep, maka nilai per lembar saham dari sebelumnya Rp 10 juta/lembar, menjadi Rp 9 juta/lembar.
CLIFF PERIOD CO-FOUNDER BARU
Cecep tidak seperti Andi dan Bobi yang bersahabat sejak lama yang sudah mengenal luar-dalam. Karena itu Andi dan Bobi ingin supaya Cecep menjalani masa ujicoba sebagai co-founder pemegang saham baru. Ini dinamakan Cliff Period yang biasanya 1 tahun. Kalau ternyata dalam 1 tahun itu kerja Cecep tidak memuaskan, Andi dan Bobi bisa memberhentikan dan mencabut saham Cecep. Lembar saham tetap 110 dimana Andi dan Bobi masing-masing mendapat 55 lembar dan komposisi kembali ke 50%-50%.
Cliff Period untuk Cecep ini juga dicantumkan dalam akta perusahaan yang diubah karena masuknya Cecep. Karena pendirian usaha adalah keperdataan yang berdasarkan kesepakatan, maka mereka bebas mencantumkan aturan-aturan yang mereka sepakati sendiri selama tidak melanggar hukum.
MEMBAGI DIVIDEN
Pada tutup buku di akhir tahun, mereka mendapati ternyata total saldo kas restoran ada Rp 500 juta setelah dikurangi kewajiban kepada pihak lain seperti pajak dan tagihan dari supplier. Rp 500 juta inilah laba untuk Andi, Bobi, dan Cecep.
Tapi laba Rp 500 juta ini tidak bisa langsung dibagi-bagi berdasarkan prosentase kepemilikan saham. Karena restoran tetap harus dilanjutkan di tahun ke-2. Agar bisa dilanjutkan, restoran harus punya modal kerja di tahun ke-2. Asal modal kerja berasal dari laba tahun ke-1 yang Rp 500 juta tadi.
Maka Andi, Bobi dan Cecep mendiskusikan apa yang akan mereka lakukan dengan laba Rp 500 juta ini agar restoran tetap berjalan di tahun ke-2 sekaligus mereka sebagai individu bisa menikmati laba tersebut. Dalam perusahaan diskusi ini disebut sebagai Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang dilakukan di akhir tahun. Dalam RUPS PT Kuliner yang dominan adalah Andi dan Bobi sebagai pemegang saham mayoritas. Sementara Cecep yang cuma punya saham 9% (dan cliff period) tidak punya pengaruh dalam pengambilan keputusan bila akhirnya dilakukan voting karena perbedaan pendapat.
Dari hasil keputusan RPUS PT Kuliner, maka disepakati modal kerja restoran tahun ke-2 adalah Rp 250 juta dan Rp 250 juta sisanya akan dibagikan sebagai dividen atau bagi hasil usaha kepada para pemegang saham. Pembagiannya adalah:
Andi: 45,5% x Rp 250 juta = Rp 113.750.000
Bobi: 45,5% x Rp 250 juta = Rp 113.750.000
Cecep: 9% x Rp 250 juta = Rp 22.500.000
Namun karena Cecep masih dalam cliff period, maka ia tidak mendapatkan dividen ini. Dividen akan disimpan oleh perusahaan dan baru akan dicairkan pada akhir cliff period yakni bulan ke-6 di tahun ke-2. Kalau ternyata Cecep tidak lulus cliff period, maka selain kehilangan saham, dividen Rp 22.500.000 tersebut akan menjadi milik Andi dan Bobi.
MASUKNYA INVESTOR
Keberhasilan restoran di tahun ke-1 membuat ABC (Andi, Bobi, Cecep… supaya singkat) ingin melakukan ekspansi membuka cabang baru di mal. Setelah dihitung-hitung modal membuka cabang di mal butuh biaya Rp 1 miliar. Mereka tak punya uang.
Maka mereka mendatangi Dadang, kawan mereka yang pengusaha sukses, dan menawarkan investasi ke restoran agar bisa ekspansi ke mal.
Tawaran ABC kepada Dadang adalah investasi Rp 1 miliar untuk 25% saham.
Dadang bertanya, “Kalau saya invest Rp 1 miliar untuk 25% saham, maka nilai per lembar sahamnya berapa?”
Sebelum datang ke Dadang, ABC lebih dulu membuat rencana kerja usaha sampai 5 tahun ke depan berdasarkan masuknya modal kerja baru atau investasi senilai Rp 1 miliar. Cash flow dan laba perusahaan bermodal Rp 1 milair tentu beda dengan yang bermodal Rp 100 (modal tahun pertama). Karena itu ABC harus kembali menghitung nilai usaha yang baru berdasarkan target cash flow atau laba dengan modal kerja Rp 1 miliar. Dengan kalkulator nilai usaha Arkademi, mereka mendapati nilai usaha mereka yang baru (dengan modal Rp 1 miliar) adalah Rp 10 miliar.
Bila yang diminta adalah 25% saham, maka akan diterbitkan saham baru untuk Dadang. Yakni 25% dari jumlah saham eksisting 110 lembar: 28 lembar saham baru. Hingga total lembar saham bila Dadang masuk adalah 138 lembar.
Dengan nilai usaha Rp 10 miliar, maka nilai per lembar saham adalah Rp 10 miliar dibagi 138 lembar sama dengan Rp 72.463.768/lembar. Karena Dadang memiliki 28 lembar saham, maka kekayaannya adalah Rp 72.463.768 kali 28 sama dengan Rp 2.028.985.507.
Masuknya Dadang dan penerbitan 28 lembar saham baru membuat komposisi kepemilikan usaha berubah lagi. Karena jumlah lembar saham sudah naik dari 110 lembar menjadi 138. Inilah komposisi saham yang baru:
Andi: 50 lembar (50/138) = 36%
Bobi: 50 lembar (50/138) = 36%
Cecep: 10 lembar (10/138) = 7%
Dadang: 28 lembar (28/138) =20%
Prosentase kepemilikan ABC dalam perusahaan memang menurun karena masuknya Dadang sebagai pemegang saham baru atau pihak yang ikut memiliki perusahaan. Namun jumlah lembar saham mereka tetap dan nilai per lembar saham naik. Yang awalnya adalah Rp 9 juta/lembar saham melompat ke Rp 72.463.768/lembar saham. Untuk Andi yang memegang 50 lembar saham yang awalnya bernilai Rp 450 juta, kini nilai sahamnya menjadi Rp 3.623.188.400.
Ketentuan vesting period juga dikenakan kepada Dadang sebagai investor di masa awal (early investor). Ia tak boleh mentransfer atau menjual sahamnya kepada orang lain dalam masa 3 tahun untuk menjaga psikologi kelompok.
KELUARNYA BOBI
Di tahun ke-3 Bobi memutuskan keluar dari kepemilikan usaha karena ia harus pindah ke luar negeri. Ia ingin mencairkan sahamnya ke dalam bentuk uang dengan cara menjual saham tersebut ke pihak lain. Namun Bobi baru menjalani masa vesting 2 tahun. Harusnya ia baru bisa mencairkan sahamnya setelah tahun ke-3 selesai.
Bila ini terjadi, maka Bobi hanya berhak mendapatkan jumlah saham sesuai masa vesting. Yakni 2 tahun per 3 tahun atau 2/3. Dengan 50 lembar saham yang dimilikinya, maka ia hanya memiliki 2/3 dari 50 lembar saham untuk dicairkan atau 33 lembar. 33 lembar saham inilah yang akan ia jual kepada pihak lain. Kebetulan ada teman Bobi bernama Eko yang ingin membeli.
Harga akhir jual-beli saham itu ditentukan kesepakatan antara Bobi dan Eko. Tapi Bobi punya acuan Rp 72.463.768 sebagai nilai per lembar saham yang ditentukan pada tahun ke-2 ketika Dadang masuk. Kalau harga itu diterima Eko, maka Bobi mendapatkan uang 33 x Rp 72.463.768 atau Rp 2.391.304.344. Atau naik 24x lipat bila dibandingkan modal awalnya di tahun ke-1 Rp 100 juta.
Ketika Eko setuju membeli 33 lembar saham dari Bobi, maka Eko tidak terkena masa vesting karena ia membeli saham lama dan bukan masuk sebagai investor baru.
Dengan terbelinya 33 lembar saham, maka timbul 2 akibat. Pertama, 17 lembar saham ‘tak bertuan’ sisa Bobi. Kedua, komposisi prosentase baru kepemilikan usaha dengan masuknya Eko dengan 33 lembar saham.
Saham ‘tak bertuan’ sisa Bobi secara otomatis menjadi milik perusahaan, bukan milik pemegang saham lain. Tapi nasib saham ini akan ditentukan oleh pemegang saham lain melalui RUPS akan dikonversi menjadi apa.
Sisa saham Bobi bisa dikonversi menjadi berbagai jenis saham. Misalnya ditawarkan kepada pemegang saham lain (Andi, Cecep, Dadang, Eko) atau pihak lain yang hasil penjualannya dimasukkan ke dalam kas perusahaan. Bisa juga dialokasikan sebagai saham untuk para karyawan (employee stock ownership plan, ESOP). Atau Bisa juga dijadikan Saham Kosong.
Saham Kosong adalah saham tanpa nama namun manfaat atas saham itu tetap bisa diambil. Melalui RUPS, para pemegang saham bisa memutuskan untuk siapa saham itu dialokasikan. Misalnya untuk bonus kepada karyawan atau manajemen. Jenis saham ini berbeda dengan ESOP. Saham kosong sebagai saham tak bernama segala manfaatnya diterima sebagai pemberian dan tak mengikat.
Bila sisa saham ditentukan sebagai saham kosong, maka berikut ini adalah komposisi kepemilikan yang baru:
Andi: 50 lembar (50/138) = 36%
Cecep: 10 lembar (10/138) = 7%
Dadang: 28 lembar (28/138) =20%
Eko: 33 lembar (33/138) = 24%
Saham kosong: 17 lembar = 13%
EXIT BERSAMA-SAMA
Di tahun ke-4, seorang pengusaha besar restoran bernama Fadli menyatakan minatnya membeli restoran PT Kuliner. Karena masa vesting 3 tahun sudah selesai, maka masing-masing pemegang saham bebas menjual saham mereka. ACDE (Andi, Cecep, Dadang, Eko) tidak keberatan menjual saham mereka secara bersama-sama bila harga dari Fadli cocok. Likuidasi saham ke dalam bentuk uang biasa disebut sebagai exit.
Berdasarkan valuasi ketika Dadang masuk, nilai PT Kuliner adalah Rp 10 miliar. Itulah harga acuan yang bisa mereka gunakan dalam tawar-menawar dengan Fadli. Akhirnya mereka sepakat di harga akuisisi perusahaan Rp 9 miliar.
Rp 9 miliar ini akan dibagi berdasarkan prosentase masing-masing pemegang saham sebagai berikut.
Andi: 36% = Rp 3.240.000.000
Cecep: 7% = Rp 630.000.000
Dadang: 20% = Rp 1.800.000.000
Eko: 24% = Rp 2.160.000.000
Saham kosong: 13% = Rp 1.170.000.000
Dari angka-angka likuidasi atau penjualan saham tersebut bisa dilihat Eko justru rugi. Ia membeli saham dari Bobi Rp 2,3 miliar, tapi saat dijual ke Fadli hanya Rp 2,1 miliar. Ini karena Eko sebelumnya membeli saham Bobi dengan harga acuan valuasi Rp 10 miliar, sedangkan Fadli ada di harga valuasi Rp 9 miliar. Selain itu Eko membeli ketika valuasi PT Kuliner sudah naik, namun menjual kembali ketika valuasi belum naik. Dengan demikian maka menjadi hak Eko untuk menjual sahamnya kepada Fadli atau tidak. Atau bisa juga ia menjual sebagian saja dan masih memiliki saham di PT Kuliner yang sudah dikuasai Fadli. Karena dengan masuknya Fadli yang pengusaha besar, tentu akan ada penyertaan modal baru dari Fadli yang jumlahnya besar dan akan menaikkan valuasi usaha.
Sedangkan saham kosong senilai Rp 1,17 miliar ditentukan alokasinya oleh RUPS (Andi, Cecep, Dadang, Eko). Bisa dibagikan kepada karyawan dan manajemen, bisa dibagikan kepada para pemegang saham sesuai prosentase, atau bisa juga keduanya.
Dengan demikian, penambahan kekayaan para pemegang saham berasal dividen atau pembagian sisa laba usaha tiap akhir tahun, dan penjualan sahamnya kepada pihak lain. Khususnya untuk founder dan co-founder, selain menjadi pemegang saham mereka juga menjadi pihak yang menjalankan perusahaan. Misalnya sebagai chief. Artinya, mereka juga berhak atas upah rutin sebagai karyawan dan bonus karyawan yang dialokasikan dari saham kosong atau dari alokasi laba akhir tahun yang ditentukan RUPS.
3-5 TAHUN MASA RAWAN
Visi terkuat sebuah perusahaan dimiliki oleh para foundernya. Karena merekalah yang melahirkan dan membangun usaha dari nol. Mereka berjuang dengan tekun memproyeksikan serta menjalankan usaha dengan pada sebuah visi masa depan. Masa-masa paling rentan sebuah usaha ada di rentang 5 tahun pertama.
Pada masa-masa rentan ini para founder sebaiknya memiliki kontrol kuat untuk menentukan nasib perusahaannya sesuai visi awal. Kontrol itu hanya bisa ditercapai apabila para founder memegang saham dengan prosentase mayoritas, atau minimal 51% secara gabungan. Karena dalam perusahaan RUPS menjadi penentu arah dan kebijakan besar. Bila terjadi perbedaan pendapat antara pemegang saham dan dilakukan voting, maka yang menang adalah pendapat yang didukung oleh pemegang saham terbanyak.
Bila di masa-masa awal saham para founder sudah menyusut di bawah 50% dan sisanya dikuasai investor, maka apapun bisa terjadi. Misalnya investor memutuskan mengganti seluruh jajaran manajemen, menghapus vesting dan menjual sahamnya, atau bahkan menjual dan menutup perusahaan. Tak ada yang bisa dilakukan founder karena mereka kalah dalam pengambilan suara.
Tahun 2006 Yahoo menawar Facebook $ 1,6 miliar. Pada 2010 Microsoft menaikkan tawaran menjadi $ 24. Semuanya dijawab ‘Tidak’ oleh Mark Zuckerberg. Hal ini bisa terjadi karena Mark menjaga kepemilikan sahamnya tetap mayoritas. Meski saat itu hampir semua investor, co-founder, manajemen, dan karyawan ingin Facebook dijual. Mark tetap bilang ‘Tidak’ dan karenanya ia dimusuhi beramai-ramai. 2012 Facebook exit lewat IPO (menjual saham di bursa) dengan valuasi $ 104 miliar. Saat ini valuasi Facebook mencapai $ 506 miliar. Kita akan melihat hal yang berbeda dari Facebook hari ini apabila dulu Mark tidak memiliki visi yang kuat dan menjaga komposisi sahamnya.
Sukses Kak … See U On Top
Follow Instagram @bekasbaru.store dan Subscribe Youtube Channel kami di “Toko Bekas Baru”
Ada cara perhitungan dg metode revenue Base & opportunity base